• Jl. Taman Menteri Soepeno No. 2 Semarang
  • Telp. (024) 8311172
  • bpkad@jatengprov.go.id
08-06-2018

"Dukungan Aktif OPD dan Penguatan Pokja IDI" oleh Yuwanto, Ph.D.

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) merupakan alat ukur demokrasi di Indonesia untuk membaca capaian dan menyusun program perencanaan dalam pembangunan politik.

IDI adalah sebuah alat ukur yang oleh penyusun program ini disebut sebagai country spesific, yakni sebuah model pengukuran yang dibangun berdasarkan latar belakang perkembangan sosial politik Indonesia (Rauf et al. 2014:5).

IDI dimaksudkan untuk mengukur realitas empirik demokrasi Indonesia dan pada saat yang bersamaan dijadikan sebagai salah satu instrumen dalam perencanaan pembangunan politik di Indonesia.

IDI mengkuantifikasi semua aspek pengukuran dan menerjemahkannya dalam bentuk persentase. Ada tiga aspek yang diukur oleh IDI, yakni aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik, dan aspek kelembagaan demokrasi. Tiga aspek ini dijabarkan dalam 11 variabel dan diterjemahkan lebih detil pada 28 indikator.

Pengukuran ini telah dilakukan sejak tahun 2009. Model pengukuran yang dipilih adalah model Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang belakangan populer karena selain dilakukan setiap tahun juga digerakkan dengan energi yang terbilang masif, mulai dari diskursus, pengukuran, dan pengintegrasian hasilnya dalam perencanaan pembangunan.

Jika melihat pengelolaan pengukuran demokrasi model IDI, terlihat bahwa ada upaya untuk mengkuantifikasi demokrasi Indonesia terkini, upaya mengintervensinya dalam setiap perencanaan pembangunan, dan satu hal yang pasti bahwa tendensi model IDI sebagai program pemerintah menjadikan pengukuran demokrasi seakan mengerucut dan berfokus pada pola yang dikembangkan oleh IDI. Fenomena ini menjadi arena baru, sekurang-kurangnya untuk secara teknokratis menempatkan demokrasi sebagai sebuah agenda pemerintah yang secara substantif dijadikan sebagai haluan.

Persoalannya adalah terkait dengan dua hal utama: (1) Bagaimana aspek metodologisnya sehingga menjadi kapabel untuk menjawab aspek representasi riil di lapangan, dan (2) model konsolidasi yang dibayangkan oleh IDI.

Selama ini debat mengenai aspek metodologis dijawab dengan prinsip argumentasi general check-up yang menganggap bahwa IDI sebatas mengamati fenomena pendahuluan. Sementara pada saat yang bersamaan pemerintah meniatkan untuk membangun kerangka konsolidasi yang lahir dari basis capaian IDI, baik secara nasional maupun daerah per daerah.

Demokrasi dan Konsolidasi Demokrasi

Partisipasi publik menjadi pilar demokratisasi dalam sebuah konsep demokrasi partisipatif (participatory democracy). Model ini menjadi kritik terhadap demokrasi perwakilan yang melihatnya sebagai demokrasi yang elitis, semu, dan lemah, sehingga dengan demokrasi partisipatif ada tawaran baru untuk mengatasi ketidakberhasilannya.

Demokrasi partisipatif melekatkan keharusan pada partisipasi masyarakat secara kuat dalam berbagai jalur. Partisipasi ini terlihat tidak hanya mengacu pada struktur formal negara, namun melalui jalur-jalur informal dan organisasi di luar negara. Nilai dasar lain yang melekat pada demokrasi partisipatif adalah kesempatan yang sama dalam berbagai ruang yang menyertakan kewajiban untuk meningkatkan transparansi kinerja.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana partisipasi politik tersebut tidak sekedar terjebak dalam logika kuantitas? Disinilah pentingnya membangun konsolidasi demokrasi.

Konsolidasi demokrasi adalah sebuah fase di mana demokrasi menjadi sebuah budaya politik sebagai pendalaman demokrasi. Supaya demokrasi terkonsolidasi, para elit, organisasi, dan massa harus percaya bahwa sistem politik yang dimiliki ini pantas dipatuhi dan dipertahankan (Diamond 2003:85). Konsolidasi karenanya menurut Diamond harus berlangsung pada dimensi dengan berbagai tingkatannya.

Dimensi dan Tingkatan Konsolidasi Demokrasi

Level

Norma dan Kepercayaan

Perilaku

Elit

Para pemimpin percaya pada legitimasi demokrasi, bahwa demokrasi dengan perangkatnya harus didukung. Keyakinan tersebut terwujud dalam retorika publik, ideologi, tulisan, dan gerak-gerik simbolis mereka.

Para pemimpin pemerintahan, lembaga-lembaga negara, partai politik, dan kelompok kepentingan saling menghargai hak satu sama lain untuk bersaing memperebutkan kekuasaan secara damai, menjauhkan diri dari kekerasan, dan mematuhi hukum, konstitusi, dan norma-norma perilaku politik yag diterima secara bersama. Para elit menghindari retorika yang dapat menghasut para pengikut mereka pada kekerasan, intoleransi, atau metode-metode ilegal. Para pemimpin politik tidak berusaha menggunakan militer demi keuntungan politik.

 

Organisasi

Semua partai, kelompok kepentingan, dan gerakan sosial mendukung legitimasi demokrasi, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga konstitusional dalam anggaran dasar, tulisan, dan deklarasi-deklarasi mereka.

 

Tidak ada partai, kelompok kepentingan, gerakan, atau lembaga yang berusaha menggulingkan demokrasi atau menggunakan kekerasan, kecurangan, atau metode-metode inkonstitusional atau anti-demokrasi lainnya sebagai taktik yang disengaja dalam mengejar kekuasaan atau sasaran-sasaran politik lain.

 

 

Massa

Secara umum publik secara konsisten percaya bahwa demokrasi lebih baik daripada pemerintahan lainnya dan bahwa demokrasi yang ada di negerinya yang paling cocok.

Tak ada gerakan partai, atau organisasi anti-demokrasi yang mendapat pengikut massa yang signifikan, dan warga negara biasa tidak secara rutin menggunakan kekerasaan, atau metode-metode lainnya untuk mengekspresikan pilihan-pilihan politik mereka atau dalam memburu kepentingan politik mereka.

 

Dalam kerangka membangun konsolidasi tersebut, Diamond (2003:93-95) mengatakan bahwa ada tiga tugas utama kelompok pro demokrasi, yaitu: penguatan demokrasi, pelembagaan politik, dan kinerja rezim.

Pertama, penguatan demokrasi terbentuk dengan penguatan struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih liberal, akuntabel, representatif, dan terjangkau. Kedua, pelembagaan politik dilakukan dengan melindungi hak-hak rakyat, pengurangan penyalahgunaan hukum, sistem peradilan yang memiliki derajat koherensi, kapasitas, dan otonomi kelembagan yang tinggi. Ketiga, kinerja rezim bertanggung jawab untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang positif untuk membangun legitimasi politik yang kuat.

Disampaikan pada Kegiatan “FGD Pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)” Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Semarang 7 Juni 2018.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP Undip, Ketua Program Doktor Ilmu Sosial (DIS) FISIP Undip.